Fatwa MUI Jatim: 'Sound Horeg' Diharamkan, Apa Dampaknya Bagi Kesehatan Telinga?

Kabar mengejutkan datang dari Jawa Timur! Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur resmi mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan 'sound horeg'. Keputusan ini diambil setelah menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait kebisingan yang ditimbulkan. Tapi, apa sebenarnya 'sound horeg' itu? Mengapa MUI mengharamkannya? Dan yang terpenting, bagaimana dampaknya bagi kesehatan pendengaran kita? Apa Itu 'Sound Horeg'? 'Sound horeg' adalah istilah yang populer di kalangan anak muda, terutama di daerah Jawa Timur. Istilah ini merujuk pada suara bising yang dihasilkan oleh alat pengubah suara (voice changer) yang sering digunakan untuk menirukan berbagai macam suara, mulai dari suara hewan, suara robot, hingga suara karakter kartun. Penggunaan 'sound horeg' ini seringkali dilakukan di tempat umum, seperti di jalanan, pusat perbelanjaan, atau bahkan di media sosial, dan seringkali menimbulkan gangguan bagi masyarakat sekitar. Mengapa MUI Jatim Mengeluarkan Fatwa Haram? MUI Jatim menjelaskan bahwa fatwa ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan syar'i dan dampak sosial yang ditimbulkan. Menurut MUI, penggunaan 'sound horeg' yang berlebihan dan menimbulkan kebisingan dapat mengganggu ketenteraman masyarakat, melanggar hak orang lain untuk hidup tenang, dan bahkan dapat menimbulkan keresahan. Selain itu, MUI juga mempertimbangkan dampak negatif 'sound horeg' terhadap kesehatan, terutama kesehatan pendengaran. Dampak 'Sound Horeg' Bagi Kesehatan Pendengaran Kebisingan yang dihasilkan oleh 'sound horeg' dapat memberikan dampak serius bagi kesehatan pendengaran. Paparan suara keras secara terus-menerus dapat merusak sel-sel rambut di dalam telinga, yang berfungsi untuk mengubah getaran suara menjadi sinyal listrik yang dikirim ke otak. Kerusakan pada sel-sel rambut ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran sementara atau permanen, bahkan dapat menyebabkan tuli. Berikut beberapa dampak kebisingan 'sound horeg' terhadap kesehatan pendengaran: * Gangguan Pendengaran Sementara (Temporary Threshold Shift - TTS): Kondisi ini terjadi ketika paparan suara keras menyebabkan penurunan sementara kemampuan mendengar. Biasanya, pendengaran akan kembali normal setelah beberapa waktu, tetapi jika paparan terus berlanjut, TTS dapat berkembang menjadi gangguan pendengaran permanen. * Gangguan Pendengaran Permanen (Permanent Threshold Shift - PTS): Kondisi ini terjadi ketika paparan suara keras merusak sel-sel rambut di telinga secara permanen. PTS dapat menyebabkan penurunan kemampuan mendengar secara permanen dan sulit untuk dipulihkan. * Tinnitus (Derings di Telinga): Tinnitus adalah kondisi yang ditandai dengan adanya dering, desis, atau suara lain di telinga, meskipun tidak ada sumber suara eksternal. Kebisingan yang berlebihan dapat memicu atau memperburuk tinnitus. * Hiperakusis (Sensitivitas Terhadap Suara): Hiperakusis adalah kondisi yang ditandai dengan peningkatan sensitivitas terhadap suara. Suara yang biasanya dianggap normal dapat terasa sangat keras dan tidak nyaman. Kesimpulan Fatwa MUI Jatim yang mengharamkan 'sound horeg' merupakan langkah yang tepat untuk melindungi masyarakat dari gangguan kebisingan dan dampak negatifnya terhadap kesehatan. Penting bagi kita semua untuk menghormati fatwa ini dan menghindari penggunaan 'sound horeg' di tempat umum, terutama jika dapat mengganggu ketenteraman masyarakat. Mari kita jaga kesehatan telinga kita dan ciptakan lingkungan yang nyaman dan kondusif bagi semua orang. Tips Menjaga Kesehatan Telinga: * Hindari paparan suara keras secara berlebihan. * Gunakan pelindung telinga (earplug) saat berada di lingkungan yang bising. * Istirahatkan telinga secara berkala dari kebisingan. * Periksakan kesehatan telinga secara rutin ke dokter spesialis THT.